Luar Zona Nyaman

Libur semester telah tiba. Tidak terasa bulan depan aku akan memasuki tahun pertamaku di jenjang SMP. Disaat libur panjang seperti ini kegiatanku hanya makan, tidur dan main game. Kegiatan monoton yang selalu kuulang setiap liburan. Karena itu bundaku selalu memarahiku. Aku rasa tidak lama lagi akan ada petir yang bergemuruh hebat mendatangiku.

“Astagfirullah Aldo! Kamu tuh yah, tiap hari kerjaannya main game mulu! badanmu tuh cium, bau kambing. Kayak gaada air aja di rumah ini.” omel Bunda sambil mendekat menghampiriku.

“Sana cepat mandi! sebelum Bunda seret kamu ke kamar mandi.” ucap Bunda.

“Ckk, iya-iya bun.” dengan malas aku mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi.

“Oh ya, nanti siang kita ke kampung. Bunda sama Ayah mau ziarah sekalian bersihin kuburan nenek dan kakekmu. Jadi untuk beberapa hari kita di sana.” ucap Bunda.

“Iya Bun.” ucapku mengiyakan dan bergegas mandi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. 

Pukul 12.00 siang, kami sudah keluar rumah dan segera menuju ke kampung halaman Bundaku. Kami hanya pergi bertiga, karena aku merupakan anak tunggal. Itu sebabnya di rumah aku selalu terpaku dengan handphoneku, karena aku tidak punya teman bermain di rumah. Sejujurnya aku tidak ingat, kapan terakhir kali aku berkunjung ke kampung. Kami jarang ke kampung dikarenakan Ayah dan Bunda yang sibuk bekerja. Selain itu, kampung bundaku jauh dari keramaian hiruk pikuk kota. Sehingga jalan yang kami tempuh tidak berjalan mulus, bagaikan sedang berkuda.

Setelah menempuh perjalanan panjang, kami akhirnya sampai di kampung pada sore hari. Kami disambut hangat oleh saudara bundaku, yaitu Paman Joko. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung merebahkan diriku di atas sofa dan menyalakan handphoneku untuk bermain game. Belum beberapa menit aku bermain, tiba-tiba koneksi internet handphoneku mati. 

“Bun, kok jaringan di HP Aldo gaada yah?” tanyaku kebingungan.

“Kuotamu habis kali.” ucap Bunda sambil mengeluarkan barang bawaaan kami.

“Engga Bun, Aldo sudah isi kuota kok.” elakku atas pernyataan Bunda barusan.

Pamanku datang dari dapur membawa teh hangat dan berkata “Disini memang sering putus-putus Do jaringannya. Wajarlah desa terpencil, jadi susah untuk akses internet.” rupanya pamanku mendengar percakapanku dan Bunda.

“Aish, belum juga lama aku main.” ucapku kesal dan bangkit dari dudukku untuk bersiap mandi, karena hari sudah menjelang maghrib.

Beberapa hari setelahnya tetap sama, jaringan di desa ini tidak lancar. Karena merasa bosan, aku pun berniat untuk keliling desa. Tidak banyak yang bisa dilihat, karena tidak ada taman bermain maupun minimarket di sepanjang jalan. Aku hanya melihat rumah-rumah jadul dan pepohonan yang rimbun. Semilir angin menerpa kulitku yang terbuka. Dedaunan menari-nari di udara mengikuti arah hembusan angin. Saat sedang asik menikmati alam, tiba-tiba aku mendengar suara keras dibalik pohon bambu. Setelah ku perhatikan, ternyata ada seorang anak laki-laki yang mungkin sepantaran denganku sedang memotong batang bambu. Karena penasaran, aku pun menghampiri anak laki-laki itu.

“Hey, apa yang sedang kamu lakukan disitu?” tanyaku penasaran.

Anak laki-laki tersebut menoleh ke arahku dan menyadari bahwa ada seseorang yang sedang mengajaknya bicara. “Oh, aku sedang memotong bambu untuk membuat layang-layang.”

“Kau bisa membuatnya sendiri?” tanyaku tidak yakin kalau ia bisa membuat layang-layang sendiri.

“Tentu saja bisa. Kamu mau lihat cara membuatnya?” tanya anak laki-laki itu.

Awalnya aku tidak ingin berlama-lama, tapi karena penasaran ‘apa benar ia bisa membuat sendiri' akhirnya aku memutuskan untuk melihat cara ia membuat layang-layang. Anak laki-laki tersebut dengan lihai membuat layang-layang dari bambu yang ia potong mengunakan bahan-bahan serta alat yang sudah ia siapkan. Setelah selang satu jam, ia berhasil menyelesaikan layang-layang tersebut dengan sempurna. Layang-layang itu terlihat rapi dan indah. Aku tidak menyangka ia betul-betul bisa membuatnya sendiri. Ini juga pertama kalinya bagiku melihat cara membuat layang-layang.

“Lihat, sudah kubilang aku bisa membuatnya kan.” ucapnya dengan ekspresi yang membanggakan.

“Oke aku mengakuinya” ucapku dengan tampang malas.

“Oh ya, aku baru melihatmu disini, kamu orang baru?” tanyanya.

“Engga, aku hanya berkunjung ke rumah nenek dan kakekku.” jawabku.

“Oh jadi kamu dari kota. Pasti menyenangkan ya tinggal di kota.” ucapnya dengan raut wajah yang terlihat iri bercampur sedih kurasa.

“Ya begitulah, sangat jauh berbeda dari pedesaan. Ngomong-ngomong namamu siapa?” tanyaku untuk mengalihkan topik.

“Ari. Kalau kamu?” jawabnya.

“Aldo.” Jawabku. Ari tiba-tiba berdiri dan membersihkan bekas ia membuat layang-layang tadi.

“Aku harus segera ke lapangan. Teman-temanku pasti sudah menunggu. Aldo kamu mau ikut ke lapangan juga?” ajak Ari kepadaku.

“Ee.. kayaknya engga” tolakku karena aku ingin bermain game di handphone. Walau aku tau pastinya jaringan di rumah tidak lancar.

“Kenapa? asik loh padahal bermain layang-layang. Kamu ga mau coba menerbangkan layang-layang?” tanyanya.

“Masih asikkan juga main game di handphone.” ucapku sarkas.

Ari hanya terdiam setelah mendengar perkataanku. Ia pun berbalik dan perlahan berjalan pergi meninggalkanku. Tapi sebelum pergi terlalu jauh ia berkata,

“Kalau kau ingin pergi ke lapangan, cukup jalan kaki saja beberapa meter dari sini. Kami bermain layang-layang disana.” ucapnya singkat dan pergi menjauh.

Setelah berpikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke lapangan. Karena percuma saja aku kembali ke rumah, jika jaringan internet tetap tidak lancar.

Setelah sampai di lapangan, aku melihat banyak anak-anak yang lebih tua dan lebih muda dariku sedang bermain layang-layang. Di antara anak-anak tersebut, aku melihat Ari yang sedang mengulur tali layangnya. Aku menghampiri Ari. Ia menoleh dan terkejut karena melihatku datang.

“Kukira kamu ga bakal datang Do.” ucapnya.

“Ya, aku penasaran bagaimana cara bermain layang-layang.” ucapku.

“Kalo gitu akan ku ajari.” ucap Ari.

Ari mengajariku cara bermain layang-layang. Awalnya aku sedikit kesusahan untuk menerbangkan layang-layang tersebut. Entah sudah berapa kali aku gagal menerbangkannya, hingga membuatku sedikit emosi. Tetapi Ari dengan sabar terus mengajariku agar bisa menerbangkan layang-layang. 

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya aku bisa menerbangkan layang-layang. Aku senang sekali karena berhasil menerbangkan layang-layang itu dengan tinggi di udara. Belum lama aku menikmati kesenangan tersebut, tiba-tiba layang-layang yang aku terbangkan putus. Aku melihat ada seseorang yang memutuskan tali layangku dengan tali layang punyanya. 

Aku pun mengejar layang-layangku yang putus. Ari ikut berlari di belakangku. Sampai tidak kusadari aku sudah masuk hutan terlalu dalam. Akhirnya aku berhasil mendapatkan layang-layang tersebut, yang tersangkut di atas pohon.

“Aldo, layang-layangnya ketemu?” tanya Ari

“Ya, itu di atas pohon.” tunjukku ke arah pohon di hadapanku. Ari pun memanjat pohon tersebut dan mengambil layang-layangnya.

“Ini. Ayo kita kembali ke lapangan.” 

Ari memberikan layang-layang tersebut kepadaku. Aku menerimanya. Saat sedang merapihkan bajuku karena habis berlari, tiba-tiba aku teringat kalau aku membawa handphoneku. Aku pun segera mengecek kantong celanaku, tapi seperti yang  kukhawatirkan handphoneku sudah tidak ada. Aku merasa panik dan gelisah karena tidak menemukan handphoneku di saku celana dan sekitarku. Ari yang melihat aku kebingungan, mencoba bertanya,

“Do kamu cari apa?”

“Hpku... Hpku hilang gatau kemana.” jawabku sambil terus mencari.

“Sepertinya terjatuh saat kamu berlari tadi”. 

Ari membantuku mencari handphoneku. kami menyusuri jalan yang telah kami lewati sebelumnya. Namun nihil, handphoneku tidak ketemu.

“Akhh! Kemana sih Hpku.” Ucapku kesal sambil mengacak rambutku frustasi.

“Sebaiknya kamu ikhlaskan saja Do Hpmu. Hari sudah sore, kita harus pulang.” ucap Ari.

“Ini semua salahmu! Kalo kamu ga ngajak aku ke lapangan pasti Hpku ga bakal hilang. Kalo temanmu ga mutusin tali layang-layang kita, pasti Hpku ga bakal hilang. Pokoknya ini semua salahmu!!” ucapku dengan penuh amarah. 

Darahku mendidih dan kepalaku terasa ingin pecah karena semua emosi bercampur menjadi satu. Disatu sisi aku marah karena keadaan yang terjadi, disisi lain aku sedih karena menyadari Hpku telah hilang dan disisi lainnya aku takut dimarahi orang tuaku karena tidak bisa menjaga barang dengan baik.

“Bagaimana bisa ini salahku. Aku hanya mengajakmu dan tidak memaksamu. Kau sendiri yang datang ke lapangan. Awalnya kau engga mau ke lapangan bukan. Selain itu aku juga ga tau kalau temanku akan memutus tali layang kita.” ucap Ari tenang dan datar. Ada sedikit rasa emosi dalam nada bicaranya. Namun, tidak ia tunjukkan dengan jelas emosi tersebut.

“Dah sana! aku ga butuh kamu. Aku masih mau mencari Hpku.” ucapku mengabaikan Ari dan mulai mencari kembali. 

Ari hanya terdiam. Setelahnya ia berbalik dan pergi menjauh dari tempatku berdiri. Langit di atas kepalaku mulai berwarna jingga, yang menandakan waktu hampir mendekati maghrib. Namun nihil, sejak sejam yang lalu Hpku tetap tidak dapat kutemukan. Aku pasrah dan mulai menangis. 

Di saat sedang berjalan, tiba-tiba aku tersandung akar pohon dan terjatuh. Lututku robek terkena batu. Lukanya lumayan besar dan sangatlah terasa perih. Aku mencoba untuk berdiri, tapi tidak kuat karena sakit yang terasa amat perih di lututku. Sehingga susah bagiku untuk berdiri sendiri. 

Di saat itu aku hanya bisa menangis dan menyesali perbuatan serta perkataanku. Kalau saja aku tidak menyalahkan Ari dan tidak menyuruhnya pergi, aku tidak akan sendirian saat ini. Sebenarnya aku tau, ini semua bukan kesalahan Ari melainkan kesalahanku sendiri. Aku hanya tidak ingin mengakui jika itu kesalahanku. Maka dari itu, aku menyalahkan orang lain.

Aku berteriak minta tolong. Namun, tidak ada seorang-pun yang datang. Beberapa menit kemudian datang seseorang menghampiriku, ternyata itu Ari.

“Do kamu gapapa?” ucap Ari sambil berjongkok melihat kondisiku.

“Lutuku sakit. Aku tidak bisa berdiri.” ucapku serak karena terus menangis.

“Tunggu sebentar.” ucap Ari. 

Ia berlalu pergi ke dalam hutan. Tidak lama kemudian, ia membawa sebuah daun dan batok kelapa yang berisikan air. Ia menumbuk daun tersebut dengan batu. Kemudian ia campurkan daun yang sudah di tumbuk dengan air. Setelahnya, ia tempelkan daun tersebut ke lukaku.

“Akhh perih banget. Ini apaan?” ucapku dengan raut wajah meringis menahan sakit.

“Itu daun cocor bebek. Daun ini bisa menyembuhkan luka yang terbuka. Kami sering menggunakannya. Ayo sini, aku bantu berdiri. Sebentar lagi sudah mau adzan. Kita harus cepat pulang.” ucap Ari sambil membantuku untuk berdiri.

Di perjalanan pulang, aku penasaran kenapa Ari masih ada di hutan dan kembali untuk membantuku.

“Ar, kenapa kamu masih di dalam hutan? Bukannya kamu sudah pulang.” tanyaku.

“Ya awalnya aku memang mau pulang. Tapi di perjalanan aku teringat dengan perkataan ayahku, yang mengatakan jangan pernah berhenti menjadi orang baik dan jangan pernah meninggalkan orang yang kesusahan. Karena itu aku memutuskan untuk balik ke dalam hutan.” jelas Ari. 

Mendengar perkataan Ari membuatku semakin merasa bersalah. Aku tidak tau, kalau ternyata aku bertemu dengan orang yang baik hati.

Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami sampai di rumahku bertepatan dengan adzan maghrib yang berkumandang. Orangtuaku ternyata menunggu di teras rumah. Terlihat ekspresi mereka sangat khawatir. Bunda dengan cepat menghampiriku dan memelukku.

“Astaga Do, kamu habis darimana? Bunda khawatir banget dari tadi. Sudah Bunda gatau kamu pergi kemana, ditambah tidak pulang-pulang sampai maghrib. Bunda kira kamu hilang.” ucap bundaku. Ada nada khawatir yang terselip di tiap katanya.

“Maaf Bun. Aldo sudah buat Bunda khawatir.” ucapku merasa bersalah.

“Terus ini kenapa kamu sampai pincang gini?” ucap Bunda sambil mengecek badanku. 

Akhirnya aku menjelaskan tentang apa yang kualami, dari awal keluar rumah sampai masuk ke dalam hutan. Setelah mendengar penjelasanku Bunda hanya menghela napas. Ayah menghampiriku dan berkata, 

“Sudah gapapa, ikhlaskan saja Hpmu. Nanti di kota kita beli Hp baru. Jadi jangan sedih lagi.”

Aku yang mendengar perkataan Ayah pun merasa senang. Aku berterimakasih dan memeluk kedua orang tuaku. Sejenak aku lupa keberadaan Ari. Aku berjalan menghampirinya.

“Ar, makasih ya karena sudah menolongku dan membantuku pulang sampai ke rumah. Aku juga minta maaf karena sudah menyalahkanmu. Ini semua kesalahanku sendiri bukan karena kesalahanmu.” ucapku merasa bersalah.

“Iya gapapa Do, aku udah maafin. Lain kali jangan seperti itu lagi. Oh ya, apa sekarang kita sudah berteman? aku senang kalau mendapat teman baru.” tanya Ari.

“Tentu saja kita berteman, kawan baru” ucapku dengan senang hati dan menepuk bahunya.

Beberapa hari setelahnya, Ari sering mengunjungiku untuk bermain bersama atau membuat suatu kerajinan tangan yang belum pernah kuketahui. Karena kakiku masih belum sepenuhnya sembuh, aku hanya bisa beraktifitas di dalam rumah. Tapi meski begitu aku senang karena bisa bermain dengan teman baruku. Seketika aku lupa dengan kecanduanku bermain game di handphone. Bermain bersama teman ternyata tidak seburuk itu. Ini membuatku keluar dari zona nyamanku, yaitu bermain game. Aku menyadari bahwa dunia luar ternyata cukup menyenangkan, bahkan lebih menyenangkan daripada terus menatap layar handphone. Aku rasa ini menjadi pengalaman terbaik di liburan panjangku.

Tapi ada satu kekhawatiran yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. “Hey Ari. Kita akan bertemu lagi kan suatu hari nanti?”


-Tamat-


Samarinda, 29 April 2024

f.z

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng 'Toko Mimpi Riko'